Langsung ke konten utama

Kedewasaan Yang Prematur

Saat ini, aku adalah wanita yang sempurna. Ya, karena aku normal. Sudah menikah di usia yang cukup. Bisa melahirkan 4 orang anak, 3 nya normal dan terakhir terpaksa caecar. Itulah kebanyalan orang bilang mengenai wanita sempurna. Meskipun secara fisik, nilaiku mungkin 6 atau 7 lah ya.

Di balik kesempurnaan ini sesungguhnya tersimpan kisah yang berjalan secara tidak alami, menurutku. Entahlah, mungkin aku kurang bersyukur. Atau apakah karema aku akhir-akhir ini sering baca tulisan psikolog.

Menurutku, alur perjalanan hidupku selama ini ada fase yang terlewatkan sebelum matang sempuna. Dimana masa kanak-kanakku ada sedikit miss, masa remaja, kurang diberi kesempatan berkreasi, dan belum selesai masa remajaku aku merasa terus-menerus dituntut menjadi dewasa tanpa pembekalan yang wajar.

Semuanya terasa timpang. Di satu waktu aku harus mandiri, tetapi ketika aku mengambil keputusan selalu dipatahkan. Barangkali itulah cara orangtuaku memberikan kasih sayang mereka. Mungkin mereka memiliki kekhawatiran yang besar padaku karena aku putri sulung mereka.

Di rumah selalu ditanamkan untuk tidak membantah apapun yang dikatakan orang tua. Sepatu, baju dan lain-lain semua sudah tersedia tanpa minta pendapat kami, aku dan adik-adikku. Jika ingin mengikuti ekskul di sekolah selalu tak diberi ijin. Dan kalaupun kami nekad mengikuti, tak akan sampai pada jenjang yang lebih tinggi karena pastilah akan mengeluarkan biaya dan orang tua kami tidak akan mengeluarkan sepeserpun untuk kegiatan itu. Tak mengapa, karena memang mereka tidak memiliki kemampuan membiayai kegiatan tektek bengek macam itu. Tapi setidaknya, berilah kami semangat. Namun yang sering kami dapati adalh ucapan pesimisme mereka akan pencapaian kami.

Entah apa yang salah dengan dengan cara asuh orang tua kami. Aku yakin, mereka pasti mengasuh kami dengan cara terbaik mereka. Namun, entah mengapa saat ini aku merasa bahwa kemarin saat aku putuskan menikah adalah saat di mana sebetulnya aku belum siap menjalaninya. Walaupun saat itu aku sudah membulatkan tekad untuk menikah. Aku merasa aku belum berpikir dewasa. Aku masih kekanak-kanakan dalam menjalankan peranku sebagai seorang ibu.

Bukannya ingin mengungkit masa lalu atau menyesali. Aku hanya ingin menjadikan ini sebagai refleksi. Bahwa kedewasaan manusia itu dibangun dari sejak dia dilahirkan dengan pola asuh yang baik sesuai fitrah manusia dan tak bisa dipukul tata pada setiap orang. Karena aku selalu dibanding-bandingkan dengan teman sebayaku yang sudah meraih pencapaian tertentu. Di sinilah aku merasa ingin dianggap bisa seperti temanku itu walaupun sebenarnya aku tak mampu. Hingga soal pernikahan pun demikian, kulakukan karena sudah jengah dengan omongan orangtua yang membanding-bandingkan, menjatuhkan harga diriku bahkan mengancam. Oh...semoga ini tak terulang olehku.

Jadi, kini aku sedang mengobati diriku sendiri dengan selalu belajar dari orang-orang baik, bijaksana, pandai, soleh dan orang muda yang berpikir secara dewasa. Ya, sepertinya kini aku banyak belajar dari anak muda. Termasuk dari suamiku, dia lebih muda dariku.😉

Komentar